Partai politik bukanlah sebuah
lembaga yang serbasama, sekalipun ada kesamaan perilaku khususnya dalam
hubungannya dengan kekuasaan politik. Dengan alasan-alasan tertentu
partai-partai dapat dibedakan jenisnya sebagai berikut:
Berdasarkan sasaran pengembangannya:
1. Partai Kader;
2. Partai Massa;
3. Partai “ambil semua,” baik kader maupun massa (catch-all party).
Berdasarkan hubungan saling-pengaruhnya dengan konstituen:
1. Partai representatif;
2. Partai partisipatif.
Berdasarkan sasaran pengembangannya:
1. Partai Kader;
2. Partai Massa;
3. Partai “ambil semua,” baik kader maupun massa (catch-all party).
Berdasarkan hubungan saling-pengaruhnya dengan konstituen:
1. Partai representatif;
2. Partai partisipatif.
Berdasarkan sikapnya terhadap sistem politik:
1. Partai konstitusional;
2. Partai revolusioner
Berdasarkan spektrum ideologisnya:
1. Partai Kanan;
2. Partai Kiri.
1. Partai Kader, Partai Massa, dan Partai “catch-all”
Berdasarkan sasaran pengembangannya,
partai dapat dibedakan menjadi Partai Kader, Partai Massa, dan Partai catch all
(ambil semua, kader maupun massa). Istilah partai kader aslinya berarti
“partainya kaum istimewa” (party of notables), yang didominasi oleh sebuah
kelompok pemimpin informal yang memandang rendah terhadap pengembangan
organisasi massa.
Partai seperti itu sering kali
dikembangkan di luar faksi-faksi atau klik (cliques) parlementer pada suatu
waktu ketika pembagian kekuasaan partai sangat terbatas. Tetapi, istilah kader
saat ini sangat biasa digunakan untuk menyebut anggota-anggota partai yang
terlatih dan profesional yang diharapkan dapat menunjukkan komitmen politik dan
disiplin doktriner tingkat tinggi terhadap partainya.
Dalam pengertian ini Partai Komunis
Uni Soviet, Partai Nazi Jerman, dan Partai Fasis di Italia, demikian pula
Partai Komunis Cina, adalah partai kader. Di masa setelah Perang Dunia II,
Partai Kongres India termasuk ke dalam partai kader. Corak yang membedakan
partai kader adalah penekanannya pada elit politik yang aktif (biasanya
setengah militeristik) yang sangat cakap menawarkan ideologi partai terhadap
massa.
Sementara itu partai massa lebih
menekankan untuk memperbanyak jumlah keanggotaan dan menyusun basis pemilih
yang lebih luas. Contohnya adalah Partai Kristen Demokrat di Jerman dan Partai
Buruh di Inggris, yang mengkonstruksi organisasinya secara khusus untuk
memobilisasi klas pekerja/buruh. Corak inti dari partai seperti itu yakni
mereka menekankan pada rekrutmen dan pengembangan organisasi ketimbang
keyakinan politik dan ideologi. Keanggotaan partai massa biasanya tidak
mempunyai syarat yang ketat, kecuali bagi segelintir aktivisnya, yakni biasanya
sekadar setuju terhadap asas dan tujuan umum partai tersebut.
Sebagian besar partai modern
tergolong ke dalam apa yang disebut oleh Otto Kircheimer (1966) sebagai partai
ambil semua (catch-all party).[1] Partai-partai seperti ini lah yang secara
drastis mereduksi pandangan ideologisnya dengan maksud untuk menarik perhatian
dan jumlah dukungan suara yang lebih luas.
Kircheimer khususnya mengamati
perkembangan Partai Kristen Demokrat di Jerman, namun contoh yang lebih jelas
adalah bentuk Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat, dan juga
Partai Buruh di Inggris. Partai-partai seperti ini berbeda dengan model klasik
partai massa karena mereka juga menekankan kepemimpinan dan kesatuan (baca:
kader), dan kemudian mengerahkan peranan para anggotanya lebih untuk membangun
koalisi dukungan suara ketimbang mendekati klas sosial atau kelompok sosial
tertentu.
2. Partai Representatif dan Partai Partisipatif
2. Partai Representatif dan Partai Partisipatif
Menurut Sigmund Neumann (1956),
partai representatif adalah melihat bahwa fungsi utamanya adalah mengamankan
jumlah suara dalam pemilihan umum. Dengan demikian mereka kemudian berusaha
lebih merefleksikan, ketimbang membentuk, opini publik.
Dalam pengertian ini, partai
representatif menerapkan strategi catch-all dan dengan demikian meletakkan
pragmatisme di atas asas dan “riset pasar” ketimbang mobilisasi kerakyatan.
Argumen perilaku politik partai seperti itu dapat dipahami berdasarkan model
pilihan rasional, sebagaimana digambarkan oleh Joseph Schumpeter dan Anthony
Downs, yang memandang politisi sebagai makhluk pemburu kekuasaan yang bersedia
menggunakan kebijakan apa saja yang dirasa akan membawanya pada keberhasilan dalam
pemilihan umum.
Sedangkan partai integrasi,
sebaliknya, menerapkan strategi politik yang proaktif, tidak reaktif; mereka
bertindak lebih untuk memobilisasi, mendidik, dan mengilhami massa, ketimbang
hanya merespon kehendak massa. Meskipun Neumann melihat ciri khas partai
mobilisator sebagai suatu partai kader yang secara ideologi disiplin, partai
massa dapat juga menunjukkan kecondongan mobilisasi. Contohnya, sampai mereka
dikecewakan oleh hasil pemilihan umum, partai-partai sosialis berusaha
memobilisasi dukungan dengan menyerukan keuntungan bagi rakyat yang mau
mendukungnya, lapangan pekerjaan, redistribusi, kesejahteraan sosial, dan
sebagainya.
Agak ironis, pendekatan ini juga
diterapkan oleh Partai Konservatif Inggris di bawah pimpinan Margaret Thatcher
pada tahun 1980-an. Mengingkari asas ideologisnya, Thatcher membawa Partai
Konservatif menerapkan strategi memotong pajak, mendorong usaha swasta,
memajukan tanggung jawab perseorangan, mengambil hati kekuatan serikat dagang,
dan sebagainya.
3. Partai Konstitusional dan Partai Revolusioner
3. Partai Konstitusional dan Partai Revolusioner
Partai konstitusional mengakui
hak-hak, kehormatan, dan eksistensi partai lain dan dengan demikian bekerja di
dalam sebuah kerangka aturan dan batasan-batasan. Khususnya, mereka mengakui
bahwa ada pemilahan antara partai dengan negara, antara partai dengan kekuasaan
(pemerintah yang sedang berkuasa), dan lembaga-lembaga negara (birokrasi,
kehakiman, kepolisian, bahkan parlemen, dsb) yang memiliki kebebasan formal dan
netralitas politik. Lebih dari itu, partai konstitusional mengakui dan
menghargai aturan kompetisi dalam pemilihan umum. Mereka mengakui bahwa mereka
dapat dengan mudah melepaskan kekuasaan semudah mereka memperolehnya dalam
pemilihan umum. Partai-partai arus-utama dalam demokrasi liberal semua memiliki
karakter konstitusional seperti itu.
Sedangkan partai revolusioner, di
sisi lain, bersikap anti sistem dan anti konstitusi, baik yang berideologi
kanan maupun kiri. Partai-partai seperti itu bertujuan untuk mendapatkan
kekuasaan dan menjatuhkan struktur konstitusional yang ada menggunakan taktik
yang membentang dari pemberontakan dan revolusi kerakyatan hingga setengah
legalis sebagaimana diperankan oleh Partai Nazi dan Partai Fasis. Dalam beberapa
kasus, partai-partai revolusioner secara resmi dinyatakan terlarang dan
digolongkan sebagai “ekstrimis” atau “antidemokrasi,” sebagaimana yang terjadi
di Jerman pasca Perang Dunia II.
Tetapi apabila partai seperti itu
memenangi kekuasaan, mereka akan menjadi partai berkuasa atau partai pemegang
rezim, dan menindas partai-partai lawan dan meneguhkan sebuah hubungan permanen
dengan mesin kekuasaan (baca: aparatur negara) Dalam sistem partai tunggal,
apakah di bawah bendera komunis, fasis, nasionalis, atau apa saja, perbedaan
antara partai dan negara sangat tipis.
Bahwa partai berkuasa adalah juga
menjadi pemerintah, dan menciptakan aparatur “partai-negara” (aparatur partai
juga aparatur negara). Contohnya di Uni Soviet, Sekretaris Jendral Partai
Komunis Uni Soviet juga merangkap sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan.
4. Partai Sayap Kanan dan Partai Sayap Kiri
4. Partai Sayap Kanan dan Partai Sayap Kiri
Berdasarkan orientasi ideologisnya,
partai sering digolongkan menjadi partai “sayap kanan” dan partai “sayap kiri.”
Partai dipandang sebagai bagian (part) dari “kaum Kiri” (partai-partai
progresif, sosialis, dan komunis) jika ditandai dengan komitmennya untuk
melakukan perubahan apakah dalam bentuk reformasi sosial atau transformasi
ekonomi secara menyeluruh. Secara tradisional mereka menggalang dukungannya
dari kaum miskin dan golongan pinggiran yang kurang diuntungkan (klas pekerja
kota) dan petani miskin, petani dengan sedikit tanah atau buruh tani yang tak
punya tanah (di desa). Partai-partai yang digolongkan “Kanan” (khususnya kaum
konservatif dan fasis) yang secara umum berupaya mempertahankan tertib sosial,
dan konsekuensinya, menjaga kekuatan demi kesinambungan.
Para pendukung mereka biasanya kaum
bisnis dan klas menengah yang mapan secara material. Tetapi cara penggolongan
partai Kanan-Kiri seperti ini sangat menyederhanakan, dan beresiko
disalahpahami. Karena bukan hanya partai-partai kanan dan kiri yang dicirikan
dengan konstitusionalitas atau revolusionernya, tetapi juga semua partai,
khususnya yang konstitusional pun kadang menunjukkan perhatiannya kepada
persoalan rakyat seolah seperti kaum kiri (melawan kemiskinan, redistribusi,
dll.) terutama ketika mereka mencari dukungan suara untuk pemilihan umum.
Istilah “spektrum politik” Kanan-Kiri
merupakan cara gampang untuk memetakan gagasan dan keyakinan politik, meringkas
posisi ideologi para politisi, partai dan gerakan politik. Asal-usulnya dapat
dilacak pada masa Revolusi Prancis dan posisi kelompok-kelompok yang mengikuti
pertemuan pertama French Estates-General pada tahun 1789. Tetapi, istilah Kanan
dan Kiri itu tidak mempunyai arti yang eksak.
Dalam arti sempit, spektrum politik
linier meringkas sikap yang berbeda terhadap ekonomi dan peran negara:
sayap-kiri berpandangan mendukung intervensi negara dan kolektivisme,
sayap-kanan lebih mendukung pasar dan individualisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar